Pada
berbagai jenis tanaman palem (Arecaceae), diketahui teknik kultur in
vitro merupakan salah satu solusi yang cukup efektif untuk mengatasi
masalah dalam penyediaan bibit. Pinang termasuk salah satu tanaman yang sulit
berkecambah maka dengan teknik kultur in vitro akan dapat mengatasi
masalah tersebut, karena kultur in vitro termasuk salah satu cara
budidaya untuk tanaman yang sulit berkecambah (Wattimena, 1996).
Salah
satu teknik kultur in vitro yang cukup luas penggunaannya adalah kultur
embrio, karena kultur embrio merupakan studi awal untuk mendapatkan atau
menentukan media yang paling cocok bagi suatu jenis tanaman, memiliki tingkat
keberhasilan yang tinggi dan dapat tumbuh lang-sung membentuk tunas.
Selanjutnya tunas terse-but dapat dijadikan eksplan yng bebas dari
micro-organisme sehingga tidak perlu disterilisasi lagi. Menurut Monnier (1990)
melalui kultur embrio dapat dipelajari perkembangan embrio lebih dini. Di
bidang pemuliaan tanaman, kultur embrio da-pat mempercepat siklus hibridisasi.
Teixeira, Sondahl, dan Kirby (1993) menyatakan bahwa dipilihnya embrio sebagai
eksplan karena terse-dianya buah, memiliki keseragaman fisiologis yang tinggi
dan dapat dibawa dalam waktu dan jarak yang cukup panjang.
Lestari
(1999) menyatakan embrio enau (Arenga pinnata Wurmb. Merr.) yang berasal
dari buah muda mempunyai kemampuan menghasilkan kalus yang lebih tinggi
dibanding embrio yang berasal dari buah yang lebih tua. Hal ini disebabkan
karena proses pematangan benih. Menurut Heddy tahun 1996 cit Lestari
(1999) pada saat benih memasuki tahap matang fisiologis maka jaringan-jaringan
embrio mengering dan organela-organela seluler menjadi tidak berfungsi.
Pertumbuhan
dan morfogenesis tanaman secara in vitro, dikendalikan oleh
keseimbangan dan interaksi dari zat pengatur tumbuh (ZPT) yang berada dalam
eksplan, baik ZPT endogen maupun eksogen yang diserap dari media tumbuh. Hasil
penelitian Hendaryono dan Wijayani (1994) menyatakan bahwa pembentukan kalus
terbaik dari embrio melinjo adalah dengan pemberian 4 ppm NAA tanpa penambahan
ZPT lain. Yuriko (2001) menyatakan kultur embrio
pinang dengan penam-bahan 6 ppm NAA pada media MS dapat membe-rikan pertumbuhan
yang optimum.
Pengkajian
mengenai kultur embrio pada pinang belum banyak dilakukan. Berdasarkan hal
tersebut, maka perlu dilakukan penelitian dalam rangka memperoleh bibit yang
baik dan bermutu serta bebas hama dan penyakit dalam jumlah yang relatif banyak
dan seragam.
1.2 Perumusan Masalah
Masalah yang akan
dibahas dalam karya tulis ini adalah mengenai pengertian kultur jaringan,
perbanyakan tanaman Pinang Siri secara kultur jaringan. Telah kita
ketahui bahwa kultur jaringan akan membawa pengaruh yang sangat besar sekali
bagi pambudidayaan tanaman di masa sekarang ini.
1.3 Manfaat Penulisan
Tentunya karya tulis
ini memiliki manfaat baik bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Adapun manfaatnya adalah sebagai berikut : Penulis bisa lebih memahami apa yang
dimaksud dengan kultur jaringan beserta hal lainnya mengenai kultur jaringan Pembaca
bisa mengetahui lebih dekat mengenai kultur jaringan.
BAB
II
BAHAN
DAN METODE
2.1
Kultur Jaringan
Penelitian
dilaksanakan di Laboratorium Kul-tur Jaringan Tumbuhan Jurusan Budidaya
Pertani-an Fakultas Pertanian Universitas Andalas Pa-dang, dengan waktu dari
bulan Juni sampai Oktober 2002.
Bahan
penelitian: embrio buah pinang yang masih muda, zat kimia penyusun media MS,
Naphthalene Acetic Acid (NAA), Benzyl Amino Purine (BAP), NaOH 1N, HCl 1N,
alkohol 70%, Bayclin, sukrosa, akuades, agar konsumsi, air kelapa muda,
deterjen, aluminum foil, dan plastic wrap.
Alat
yang digunakan : timbangan analitik, autoclave, kompor listrik, pH meter,
laminar air flow cabinet (LAFC), lemari es, oven, hotplate dengan magnetic
stirer, gelas piala, labu ukur, ca-wan petri, erlenmeyer, pisau scalpel,
pinset, karet hisap, hand sprayer, botol kultur, lampu neon, lampu spiritus,
gunting buah, cutter, dan ruang pemeliharaan yang dilengkapi dengan pengatur
suhu.
Percobaan
disusun dalam bentuk faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2
faktor dan masing-masing faktor terdiri dari 3 taraf. Faktor pertama adalah
tingkat konsentrasi NAA yang terdiri dari : 4 ppm, 6 ppm, 8 ppm, dan faktor
kedua adalah tingkat konsentrasi BAP yang terdiri dari : 0 ppm, 0,5 ppm, dan 1
ppm, sehingga didapatkan 9 kombinasi perlakuan.
Masing-masing
perlakuan terdiri dari 5 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 5 botol
kultur, sehingga diperoleh 225 botol kultur yang digunakan. Data yang diperoleh
diuji secara sta-tistika dengan uji F pada taraf nyata 5% dan disa-jikan dalam
bentuk tabel. Apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji
lanjutan Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf nyata 5 %.
2.2
Pelaksanaan percobaan
2.1.1
Sterilisasi alat
Alat-alat yang dipakai terlebih dulu
disterilkan dengan cara mencuci alat-alat tersebut dengan deterjen dan dibilas hingga
bersih, setelah itu di-rendam dengan bayclin 5 ml/ l air selama satu malam. Kemudian
disterilisasi dengan mengguna-kan autoclave pada tekanan 15 psi, suhu 121oC
selama 30 menit. Setelah itu diovenkan pada suhu 75oC sampai saat
dipergunakan.
2.1.2 Persiapan media
Dalam pembuatan media pertama
sekali dibu-at larutan stok dan diberi kode A, B, C, D, E, dan F berdasarkan
jenis garamnya. Larutan vitamin ditempatkan dalam botol yang terpisah. Pada
larutan stok ini, media dipekatkan sehingga pada saat pembuatan media hanya
dengan memipet sejumlah volume tertentu sesuai dengan takaran yang diperlukan.
Kedalam larutan ditambahkan BAP dan NAA sesuai dengan perlakuan dengan cara
memipet larutan stok yang sudah ada. Kemudian ditambah arang
aktif dan ditambah sukrosa 3%. Kemudian diatur pH agar mencapai 5,8. Media
selanjutnya ditambah agar sebanyak 8g/l dan dimasak sampai mendidih.
Selanjutnya media dimasukkan kedalam botol kultur sebanyak 10 ml tiap botol dan
ditutup rapat dengan alumi-nium foil, kemudian disterilkan dalam autoclave pada
tekanan 15 psi pada suhu 121oC selama 20 menit setelah itu
dipindahkan dan disimpan di ruang inkubasi selama 1 minggu.
2.1.3
Persiapan eksplan
Buah pinang dicuci dengan deterjen
sambil di-sikat dengan sikat gigi untuk mengangkat kotoran yang melekat.
Kemudian dibilas bersih, setelah bersih buah dipotong pada ujung dan pangkalnya
masing-masing 0,5 cm, kemudian langsung diren-dam dalam alkohol 70%. Buah
dibawa ke dalam LAFC dan dibiarkan selama 30 menit.
Embrio merupakan bagian tanaman
yang ter-tutup dan bebas mikroorganisme, karenanya tidak dilakukan sterilisasi
terhadap embrio itu sendiri. Embrio dipisahkan dari buah dengan menggu-nakan
pisau scalpel dan diambil dengan pinset. Embrio yang telah dipisahkan tersebut
langsung ditanam di dalam botol kultur, tanpa melalui proses sterilisasi.
2.1.4 Penanaman eksplan
Penanaman eksplan dilakukan di
dalam LAFC. Embrio yang sudah dipisahkan dari buah-nya tadi ditanam dalam botol
kultur yang telah berisi media, masing-masing satu embrio untuk setiap botol kultur,
kemudian ditutup dengan aluminimum foil dan dibalut dengan plastik wrap.
2.1.5 Penggelapan
Untuk menghindari terjadinya
browning, ma-ka dilakukan penggelapan. Botol kultur ditempat-kan di ruangan
gelap pada suhu 25 - 27 oC selama 14 hari.
2.1.6 Pemeliharaan kultur eksplan
Botol-botol kultur dipindahlan ke
ruangan te-rang setelah 14 hari dalam ruangan gelap. dan di-susun pada rak-rak
kultur dalam ruangan pe-meliharaan dengan suhu ruangan tetap 25 - 27 oC,
cahaya lampu rata-rata 2000 luks dan setiap hari disemprot dengan alkohol 70%.
2.1.7 Pengamatan
Variabel yang diamati pada
penelitian ini me-liputi : persentase eksplan yang hidup (%), per-sentase
eksplan yang mengalami pencoklatan (%), persentase eksplan membentuk kalus (%),
per-sentase eksplan yang membentuk shootlet,, per-sentase eksplan yang
membentuk rootlet, dan perubahan warna eksplan.
BAB
III
HASIL
DAN PEMBAHASAN
3.1
Persentase eksplan yang hidup
Pemberian NAA dan
BAPmemberikan penga-ruh yang tidak nyata terhadap persentase eksplan yang
hidup, tetapi persentasenya cukup tinggi bervariasi antara 71,0 – 88,7 %
seperti tertera pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Persentase
eksplan embrio muda pinang sirih yang hidup dengan pemberian berbagai
konsentrasi NAA dan BAP umur 14 minggu setelah tanam
Konsentrasi
NAA (ppm)
|
Konsentrasi
BAP (ppm)
|
0,0
|
0,5
|
1,0
|
4
|
83,7
|
76,0
|
81,1
|
6
|
88,7
|
88,7
|
78,6
|
8
|
88,7
|
71,0
|
73,5
|
KK
= 16,7%
|
|
|
|
Angka-angka pada baris dan kolom yang sama berbeda
tidak nyata menurut uji F pada
taraf
nyata 5 %.
Data
di atas menunjukkan bahwa kemampuan hidup eksplan cukup tinggi, hal ini
disebabkan karena NAA dan BAP yang diberikan sudah mampu mendorong eksplan
untuk hidup, disam-ping itu jenis media yang digunakan juga telah sesuai bagi
pertumbuhan eksplan. Sesuai dengan pendapat Hendaryono dan Wijayani (1994)
bahwa media tumbuh kultur in vitro sangat besar penga-ruhnya terhadap
pertumbuhan dan perkembangan eksplan serta bibit yang dihasilkannya.
3.2 Persentase eksplan yang
mengalami pencoklatan
Persentase eksplan
yang mengalami penco-klatan cukup rendah pada setiap kombinasi perla-kuan,
bervariasi antara 0,71 – 1,47% dan berbeda tidak nyata sesamanya (Tabel 2 ).
Tabel 2. Persentase eksplan
embrio muda pinang sirih yang mengalami pencoklatan dengan pemberian berbagai
konsentrasi NAA dan BAP umur 14 minggu setelah tanam
Konsentrasi NAA (ppm)
|
Konsentrasi BAP (ppm)
|
0,0
|
0,5
|
1,0
|
4
|
1,47
|
1,47
|
0,71
|
6
|
0,71
|
0,71
|
1,47
|
8
|
0,71
|
1,47
|
0,71
|
Angka-angka pada baris dan kolom yang sama berbeda
tidak nyata menurut uji F pada taraf nyata 5 %.
Pemberian
auksin dan sitokinin menyebabkan pencoklatan yang rendah terhadap eksplan.
Menurut Zaid cit. Subardianto (2001) diduga NAA sebagai auksin
memperkecil pengaruh sito-kinin yang bersifat merangsang sintesis senyawa fenol
yang menyebabkan pencoklatan.
3.3
Persentase eksplan yang membentuk kalus
Pembentukan
kalus tertinggi yaitu 19,0% diberikan oleh kombinasi 8 ppm NAA dengan 0 ppm
BAP, tetapi pemberian NAA dan BAP seca-ra umum belum memperlihatkan pengaruh
yang nyata terhadap persentase eksplan yang memben-tuk kalus. Hal ini diduga
bahwa zat pengatur tumbuh endogen telah mampu menunjang pertum-buhan eksplan ke
arah pembentukan kalus. Menurut Wiendi et al (1991) di dalam kultur in
vitro pertumbuhan dan morfogenesis tanaman dikendalikan oleh keseimbangan
dan interaksi dari zat pengatur tumbuh yang berada dalam eksplan. Pada tanaman
monokotil pembentukan kalus hanya membutuhkan auksin yang tinggi tanpa
sitokinin. Ternyata dari hasil memang terlihat bahwa dengan pemberian auksin
memperlihatkan kalus yang terbentuk semakin banyak tanpa pemberian sitokinin.
Tabel 3. Persentase eksplan
embrio muda pinang sirih yang membentuk kalus dengan pemberian berbagai
konsentrasi NAA dan BAP umur 14 minggu setelah tanam
Konsentrasi
NAA (ppm)
|
Konsentrasi
BAP (ppm)
|
0,0
|
0,5
|
1,0
|
4
|
6,3
|
6,3
|
1,3
|
6
|
6,3
|
1,3
|
6,3
|
8
|
19,0
|
1,3
|
1,3
|
Angka-angka pada baris dan kolom yang sama berbeda
tidak nyata menurut uji F pada taraf nyata 5 %.
3.4 Persentase
eksplan yang membentuk hootlet.
Pemberian
NAA dan BAP secara bersamaan dengan berbagai konsentrasi ternyata tidak
memberikan interaksi yang nyata, tetapiNAA dan BAP secara tunggal masing-masing
menunjukan pengaruh yang nyata seperti terlihat pada Tabel 4 berikut.
Tabel
4. Persentase eksplan embrio muda pinang sirih yang membentuk shootlet
dengan pemberian berbagai konsentrasi NAA dan BAP umur 14 minggu setelah tanam
Konsentrasi
NAA (ppm)
|
Konsentrasi
BAP (ppm)
|
Rata-rata
|
0,0
|
0,5
|
1,0
|
|
|
4
|
63,7
|
34,0
|
43,8
|
47,1 A
|
6
|
41,5
|
21,3
|
31,6
|
31,5 B
|
8
|
38,8
|
13,9
|
11,4
|
21,4 B
|
Rata-rata
|
48,0 a
|
23,1 b
|
29,0 b
|
|
KK = 51,2%
|
|
|
|
|
Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf kecil yang
sama dan angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf besar yang sama
berbeda tidak nyata menurut uji DNMRT pada taraf nyata 5 %.
Pada
Tabel 4 terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi NAA ataupun BAP menurunkan
persentase eksplan yang membentuk shootlet sehingga persentase tertinggi
didapatkan pada kombinasi 4 ppm NAA dengan 0 ppm BAP yaitu 63,7 %. Menurut
Wiendi et al (1991) dan Nasir (2002) bahwa keseimbangan dan interaksi
dari zat pengatur tumbuh yang berada dalam eksplan akan memepengaruhi
pertumbuhan dan morfogenesis tanaman dalam kultur in vitro.
3.5
Persentase eksplan yang membentuk rootlet
Tabel
5. Persentase eksplan embrio muda pinang sirih yang membentuk rootlet
dengan pemberian berbagai konsentrasi NAA dan BAP umur 14 minggu setelah tanam
Konsentrasi
NAA (ppm)
|
Konsentrasi
BAP (ppm)
|
Rata-rata
|
0,0
|
0,5
|
1,0
|
4
|
44,4
|
31,7
|
82,3
|
52,8
|
6
|
94,9
|
31,7
|
44,4
|
57,0
|
8
|
94,4
|
6,4
|
6,4
|
52,4
|
Rata-rata
|
94,6 a
|
23,3 b
|
44,3 b
|
|
KK =
|
|
|
|
|
Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf kecil yang
sama berbeda tidak nyata menurut uji DNMRT pada taraf nyata 5 %.
Dari
hasil analisis (Tabel 5) ternyata pembe-rian NAA berpengaruh tidak nyata
sedangkan pemberian BAP memperlihatkan pengaruh yang nyata. terhadap eksplan
yang membetnuk rootlet. Pemberian 0 ppm BAP memperlihatkan hasil yang tinggi
dibanding perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena BAP dalam pembentukan
root-let kurang dibutuhkan. Sesuai dengan pendapat Wiendi et al (1991)
bahwa pembentukan akar pada kultur in vitro membutuhkan sitokinin dalam
konsentrasi yang rendah sekali. Hal ini berarti bahwa pada konsentrasi 4 ppm
NAA dan 0 ppm BAP keseimbangan zat pengatur tumbuh eksogen dengan endogen sudah
tercapai dalam pemben-tukan rootlet.
3.6
Perubahan warna eksplan
Perubahan
warna eksplan tidak dianalisis secara statistika, hanya diamati secara visual
saja. Eksplan yang membetuk kalus dan rootlet bewarna kuning muda, sedangkan
yang membentuk shootlet bewarna hijau. Menurut Wiendi et al (1991) bahwa
dengan terbentuknya warna hijau pada eksplan merupakan awal terjadinya morfogenesis.
BAB
IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan
hasil percobaanan ini dapat disimpulkan bahwa pemberian 4 ppm NAA dapat
mendorong pertumbuhan shootlet dan pemberian 0 ppm BAP mendorong pertumbuhan
shootlet dan rootlet.
DAFTAR
PUSTAKA
Bhat, K.S. 1978. Agronomic research in
arecanut a review. Journal of planttation Crops volome 6 no. 2 Institut
Regional Station. India. Pp 67-80.
Biro Pusat Statistik. 2000. Statistik perdagangan
luar negeri Indonesia : ekspor 1999 jilid 1. Biro Pusat Statistik. Jakarta. Hal.
32.
Hendaryono, D.P.S. dan A.Wijayani.
1994. Teknik kultur jaringan. Peberbit Kanisius. Yokjakarta. 139 hal.
Lestari, M. 1999. Kultur embrio
tanaman enau (Arenga pinnata (Wurmb) Merr) secara in vitro
dengan berbagai tingkat kematangan buah. Skripsi Fakultas
Pertanian Universitas Andalas Padang. 147 hal.
Monnier, M. 1990. Zygotic embryo
culture. S.S.Bhojwani (editor). Development ini crop science 19 plant tissue
culture (applications and limitations). Elsevier Science Publishers B.V.
Amsterdam, Netherlands. Pp. 336-390.
Nasir, M. 2002. Bioteknologi potensi dan
keberhasilannya dalam bidang pertanian. PT Grafindo Persada. Jakarta. 286 hal.
Subardianto. 2001. Pengaruh konsentrasi
NAA dan kinetin terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan tunas kenanga (Canangium
odorata Baill) secara in vitro. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas
Andalas Padang. 44 hal.
Teixeira, J.B, M.R.Sondahl, and
E.G.Kirby. 1993. Somatic embryogenesis from immature zygotic embryos of palm
oil. Plant Cell, Tissue and Organ Culture no.34. Kluwer Academic Pulishers.
Netherlands. Pp 227-233.
Untu, Z. 1995. Penggunaan zat pengatur
tumbuh pada pembibitan pinang. Buletin Balitka no.24. Balai Penelitian Tanaman
Kelapa. Menado. Hal. 60-65.
Wattimena,G.A. 1996. Zat
pengatur tumbuh tanaman. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. PAU
Bioteknologi. IPB Bogor. 247 hal.
Wiendi, N.A, G.A.Wattimena, dan
L.W.Gunawan. 1991. Perbanyakan tanaman dalam bioteknologi tanaman. PAU
Bioteknologi. IPB Bogor. 507 hal.
Yuriko, H. 2001. Kultur embrio
pinang sirih (Areca catechu L.) secara in vitro pada beberapa
tingkat kematangan buah. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas
Andalas Padang. 48 hal.